Pernyataan Sikap LMND-DN Tolak Omnibus Law, Lawan Kapitalisme dan Imperalisme

Penolakan omnibus law
Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi – Dewan Nasional (LMND-DN) Ekskot Kefamenanu dan Ekskom Unimor Periode 2020.(wacananews.co.id/Aprianus)

TIMOR TENGAH UTARAB(TTU) – Kapitalisme sedang megalami krisis yang diciptakannya sendiri. Di belahan dunia manapun kita menyaksikan resesi ekonomi yang begitu dalam di tengah krisis pandemi yang begitu akut. Hari ini pandemi telah mengubah seluruh keseimbangan sistem kapitalisme dan membawa kekacauan diman-mana, tidak ada satupun ahli-ahli ekonomi borjuis yang bisa meramalkan kapan tekanan krisis ini akan berakhir.

Gelembung utang publik telah mencapai angka 332% dari seluruh PDB dunia, rasio utang terhadap PDB di Eropa dan AS telah mencapai 383%, Prancis dan Italia 99% dan 135% dari PDB, Jepang mencapai 250%. Hal ini menggambarkan kegagalan kapitalisme dalam mengatasi krisis di bawah pandemi Covid-19.

Penurunan ekonomi yang begitu cepat mengakibatkan Negara-negara berkembang mengalami krisis ekonomi yang lebih parah. Sementara pasca krisis keuangan yang dialami Asia Tenggara pada tahun 1997-1998 dan 2008 masih belum terselesaikan, salah satunya adalah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia diperkirakan mencapai 2,3%, ini jauh dari perkiraan yang diharapkan sebesar 4%.

Kondisi kritis ini masih berlanjut dalam pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartel II/2020 yang mencapai -5,32%, yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 yang semakin melonjak sehingga pemerintah dalam menanggapi kebijakan ini dengan membuka kembali perekonomian nasional yakni kebijakan new normal live secara bertahap yang dimana akan mengorbankan jutaan rakyat pekerja Indonesia ditengah ancaman virus yang mematikan ini.

Disatu sisi pemerintah Indonesia mendapatkan gelontoran dana sebesar 300 juta dolar AS ( Rp 4,95 triliun dari bank dunia ) yang dianggap dengan memberikan stimulus ekonomi ini akan mampu menyelesaikan perlambatan ekonomi yang sedang terjadi seperti sebelum-sebelumnya. Alih-alih menyelesaikan perlambatan ekonomi justru hanya akan menambahkan beban baru diatas pundak rakyat pekerja Indonesia.

Di tengah situasi yang buruk ini, Omnibus Law justru menjadi prioritas dari pemerintahan Indonesia yang digadang-gadang dapat menyelesaikan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan alasan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Hal ini hanyalah tampak permukaannya saja.

Deregulasi atau pelonggaran regulasi bagi kapital adalah upaya negara dibawah kontrol kapitalisme untuk memuluskan jalan bagi penghisapan yang berkelanjutan atas kekayaan alam dan sumber daya manusia.

Meringankan pajak korporasi, pemotongan pesangon buruh, membatalkan cuti haid, melanggengkan kerja kontrak dan outsourching, memperlemah lingkungan hidup, semua ini hanya pengorbanan untuk masa depan yang lebih baik bila kucuran investasi akan membuahkan hasil lebih besar bagi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, begitu pembelaan rejim.

Padahal, pengorbanan tersebut justru akan semakin mengeksploitasi rakyat pekerja selama alat produksi masih dimiliki oleh kelas kapitalis.

Dalam sektor agraria sendiri, omnibus hanya akan semakin memperparah ketimpangan penguasaan lahan yang selama ini terjadi yang merupakan akar dari persoalan konflik agrarian yang selama ini terjadi. Pada tahun 2019 saja, terjadi 279 konflik agraria yang mencakup luasan lahan 734.239 hektar dan 109.042 KK teradampak. Dalam kurun waktu 5 tahun (2015-2019) ada 2.047 kejadian konflik agrarian di seluruh Indonesia.

Bahkan dalam masa pandemi (maret s/d juli 2020) pun konflik agraria terus terjadi (28 konflik), 18 petani dipenjara, 2 petani tewas dan 3 dianiaya. Watak ideology politik agrarian yang liberal dan pro terhadap pemodal juga tercermin kuat dalam RUU CK dengan cara menghidupkan kembali penyimpangan Hak Menguasai dari Negara atas tanah dan asas Domein Verklaring Kolonial. Ini dilakukan melalui perluasan bentuk hak pengelolaan (HPL), yang berubah dari kewenang pemerintah menjadi “Hak Atas Tanah Pemerintah”, termasuk pihak ketiga (swasta).

HPL juga menguatkan HGU dan HGB bagi badan usaha skala besar karena diberikan selama 90 tahun selama dimuka. Ketentuan ini bahkan lebih parah dari UU Agraria zaman penjajahan yang member hak atas tanah selama 75 tahun kepada perusahaan.

Sehingga petani akan kehilangan pekerjaannya karena perampasan lahan semakin dipermudah untuk kepentingan investasi yang dilakukan negara bila RUU Cipta Kerja disahkan. Jutaan rakyat Indonesia akan diperhadapkan dengan masalah kedaulatan pangan karena alih fungsi tanah-tanah pertanian yang semakin masif untuk kepentingan investasi dan bisnis atas dalih pembangunan demi kesejahteraa rakyat. Pencemaran lingkungan pun tak akan terhindarkan serta akan terus berkelanjutan.

Selain itu juga, Pencanangan Omnibus Law bertentangan dengan konstitusi. Pada pasal 170 Omnibus Law, pemerintah pusat berhak merubah undang-undang cipta kerja maupun undang-undang yang tidak berada dalam RUU Cilaka yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Presiden Joko Widodo pada periode pertamanya mempunyai program nawacita yang salah satunya mengusung reforma agraria dengan menjanjikan redistribusi tanah 9 juta hektar, yang kemudian termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Akan tetapi hal ini masih belum dinikmati oleh masyarakat di wilayah SP 1 dan SP 2, Desa Ponu Kecamatan Biboki Anleu yang terdiri dari 40% warga eks timor timur dan 60% warga lokal dimana terdapat ± 600 Kepala Keluarga yang belum memiliki sertifikat tanah sejak mereka ditempatkan di wilayah tersebut pada tahun 2000. Waktu mereka ditempatkan di sana, telah diadakannya pengukuran lahan pada tahun 2002 dimana lahan pekarangan sebanyak 5 are dan lahan garapan sebanyak 1 hektar yang terdiri dari lahan usaha 1 (sawah) 70 are dan lahan usaha 2 (umbi-umbian, jagung dan kacang-kacangan) sebanyak 30 are yang dijanjikan akan diterbitkan sertifikat tanah pada 2 tahun setelah pengukuran.

Namun realita yang terjadi sampai dengan saat ini sertifikat tanah yang dijanjikan tak kunjung diberikan oleh pemerintah. Ironisnya warga dibebankan dengan membayar pajak sebesar Rp.5000 Per-KK per tapak rumah per-tahun padahal warga belum mendapatkan surat bukti legal kepemilikan hak atas tanah (sertifikat).

Belum selesai persoalan SP 1 dan SP 2, kita dikejutkan dengan penggusuran terhadap masyarakat adat Pubabu, Besipae oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk kepentingan perkebunan kelor dan pengembangan peternakan dalam skala besar. Hal ini semakin menunjukan watak rezim yang semakin tidak berpihak pada rakyat pekerja NTT.

Dalam penggusuran itu pun terjadi teror yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan aparatus represif (TNI-POLRI) sehingga ini meninggalkan bekas trauma yang mendalam bagi orangtua, kaum muda, ibu hamil dan anak-anak tentunya. Sehingga dengan dikebutnya RUU Omnibus Law, hanya akan memperparah situasi dan perampasan lahan milik rakyat Indonesia.

Dalam sektor pendidikan sendiri, kita tahu bahwa di tengah krisis pandemi ini banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam membayar uang sekolah mereka karena orang tua yang di PHK dari pekerjaannya, pendapatan petani dan Nelayan yang menurun. Bahkan jauh sebelum pandemi pendidikan Indonesia telah di Liberalisasi yang dimana pendidikan bukan lagi sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan berubah menjadi ajang bisnis demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Hal ini bisa kita lihat dari mahalnya biaya pendidikan yang membuat rakyat tertindas sulit untuk mengaksesnya. Kebijakan penurunan biaya pendidikandan bantuan biaya pendidikan di tengah pandemi pun dibatasi dengan kuota dan dilakukan dengan seleksi oleh Kemendikbud.

Hal ini tentu merupakan kebijakan yang tidak pro terhadap seluruh rakyat tertindas Indonesia yang terkena dampak secara ekoomi akibat pandemi covid-19 dan dilakukan sedemikian rupa untuk tetap menjaga kepentingan para investor yang berbisnis di sektor pendidikan yang sedang kebingungan dalam menghadapi resesi ekonomi yang menimpa dunia hari ini.

Berdasarkan rasionalisasi di atas, maka kami dari LMND-DN Eksekutif Kota Kefa dengan ini menyatakan sikap:

Menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan menuntut pemerintah Indonesia untuk tidak mensahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Berikan upah yang layak, jaminan keselamatan kerja, kebebasan berekspresi bagi buruh dan hapus sistem outsourching
Hentikan segala bentuk perampasan lahan milik petani Berikan jaminan pertanian bagi seluruh petani Indonesia Hapus Liberalisasi Pendidikan Indonesia dan Wujudkan pendidikan yang Ilmiah, Gratis dan Demokratis

Mengutuk keras tindakan penggusuran yang dilakukan secara represif oleh Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kab. TTS
Menuntut Pemerinrah Kab. TTU untuk segera Berikan sertifikat tanah bagi seluruh masyarakat SP. 1 dan SP. 2 Desa Ponu.(ae/w1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *