DPP GMNI : Program Nadiem Makarim Merdeka Belajar, Visioner Atau Imaginer?

Ketua DPP GMNI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Bung Syam Firdaus Jafba.(wacananews.co.id/isto)
Ketua DPP GMNI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Bung Syam Firdaus Jafba.(wacananews.co.id/isto)

JAKARTA– Pendidikan di Indonesia tiap waktu selalu mengalami perubahan, mulai dari perubahan sistem pembelajaran, kurikulum, struktur organisasi hingga teknis pelaksanaan Pendidikan.

Perubahan tersebut seyogyanya mampu membuat pendidikan di Indonesia maju dengan pesat sesuai dengan program-program inovatif yang dilahirkan oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Namun berbeda dengan gagasan dari inovasi tersebut seperti halnya seruan “Merdeka Belajar” yang dalam tindakan nyatanya jauh dari kata Merdeka.

Lewat gerakan “Merdeka Belajar” ala menteri Nadiem Makarim berupaya mengurai masalah-masalah yang kerap ditemukan di dunia pendidikan.

Program-program inovatif tersebut seperti halnya mengganti Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) dengan Asesmen, mengganti Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, serta mempersingkat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) nyatanya masih sebatas wacana.

Padahal di awal kepemimpinan, publik mulai mengapresiasi ide dan gagasan tersebut dapat membuat dunia pendidikan di Indonesia mengarah kepada suatu pengembangan sumber daya manusia yang berkarakter, unggul dan siap di tempatkan di lintas sektor manapun.

Menurut Ketua DPP GMNI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Bung Syam Firdaus Jafba, seruan “Merdeka Belajar” yang dipopulerkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sangat jauh dari arti “Kemerdekaan” yang sesungguhnya, Selasa (28/07/2020).

Menurut syam Sejatinya kemerdekaan adalah melepas diri dari penjajahan, penindasan dan belenggu yang menyiksa.

Namun Merdeka Belajar ini tidak mempunyai konsep atau gagasan yang terukur dapat dijalankan di Indonesia sehingga Merdeka Belajar terkesan berada di awang-awang tanpa ada satupun gerak material selama 7 bulan lamanya Kemendikbud dipimpin oleh Nadiem Makarim.

Di dalam masa pandemi ini Merdeka Belajar itu pun semakin jauh, bahkan mengarah kepada kediktatoran digital yang memaksa peserta didik untuk menggantungkan dirinya kepada digitalisasi dengan tidak didukung oleh fasilitas yang ada.

“Program Nadiem Makarim yang ingin memajukan dunia pendidikan terkesan mengecat langit namun lupa menapak bumi”, imbuh Syam.

Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) sekolah daring, kuliah daring dan sebagainya yang menggunakan media digital dapat membuat masyarakat Indonesia terjerumus kepada kediktatoran Digital.

Sementara menurut data Kemenkominfo terdapat 12.548 Desa belum dapat jaringan internet maka tentu saja sekolah daring/kuliah daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak efektif karena tidak didukung dengan Fasiltas yang mumpuni.

Merdeka Belajar jauh dari semangatnya malah yang terjadi kapitalisme di dunia pendidikan semenjadi-jadinya, dimana Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) hanya akan menguntungkan pihak-pihak provider.

Seyogianya pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat memikirkan solusi kongkrit bagaimana pendidikan di Indonesia dapat berjalan dengan baik agar sumber daya manusia unggul dapat benar-benar dapat terwujud.

Kemendikbud dapat bekerja sama dengan kementerian terkait lainnya dalam menyelesaikan persoalan Pendidikan di Indonesia terkhususnya kesediaan jaringan internet gratis bagi peserta didik ditengah Pandemi Covid-19 saat ini.(isto/w2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *