Cermati Isu Politik Identitas, Cendikiawan NU: Islam Itu Rahmatan Lil Alamin

politik
Diskusi dengan tema Mengelola Konflik di Media Sosial Pada Pemilu 2024, Agama, Budaya dan Masa Depan Indonesia di Primebiz hotel, Surabaya.

SURABAYA, WacanaNews.co.id — Tahun politik, dalam suksesi kepemimpinan dalam kontestasi pemilu 2024 selayaknya tidak menyudutkan salah satu pihak. Saatnya adu gagasan dan pemikiran menuju bangsa yang adil dan sejahtera.

Bukan meramaikan isu politik identitas dan mengeneralisir sesuatu hal yang sangat merugikan dan menyudutkan calon pemimpin yang ikut berkontestasi dalam pemilu 2024.

Berlatar hal tersebut, Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia (PMPI) menggelar diskusi dengan tema Mengelola Konflik di Media Sosial Pada Pemilu 2024, Agama, Budaya dan Masa Depan Indonesia di Primebiz hotel, Surabaya, Kamis (19/10).

Dalam acara ini hadir sekaligus empat narasumber utama. Yakni, Cendikiawan NU, Muladi Mughni PhD, Aktivis Muda NU, Holili M.Ag, Akademisi UINSA, A. Khubby Ali Rohmad M.Si dan Sejarawan dari Kampus Unesa, Bayuaji, S. Hum.

Dalam paparannya Muladi Mughni menyampaikan isu soal politik identitas ini jadi pekerjaan rumah bersama. “Kalau seandainya betul politik identitas atau Islam politik memimpin apakah tidak menjadi ancaman? Saya pikir ini jadi PR kita semua. Kalau kita yakin bahwa Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin saya pikir ini bukan saatnya kita mengadu jargon,” ujarnya.

Menurutnya, begitu pun juga dengan politik Islam atau kita sebagai pemimpin. “Apakah kita bisa meniru tentang bagaimana pendahulu kita untuk bisa mengemplementasikan ajaran universal Islam dengan konteks sosial, politik, budaya dan kehidupan ekonomi sehari-hari,” bebernya.

Muladi melanjutkan sebelum terbentuk NKRI ada contoh tradisi heroik Surabaya sebagai kota santri. “Itu resolusi jihad satu contoh kecil bahwa ada ajaran Islam itu tidak pernah bertentangan dengan nasionalisme, bahkan mendorong untuk membebaskan dari pada  kolonialisme,” tegasnya.

Ia menuturkan ini adalah inspirasi kebangkitan melalui nilai spirit agama. Tetapi untuk konteks kebangkitan nasional ini yang harus digelorakan selalu.

“Ini jadi suatu bukti bahwa sebetulnya kekhawatiran kalau kita mengangkat spirit nilai Islam itu tak harus dimaknai bahwa kita anti nasionalisme. Saya pikir sahabat ngerti istilah hubbul wathan minal iman,” cetusnya.

Menurut Mugni lagi inilah yang sering dilupakan. “Saya pikir kita tak membicarakan seorang agama tak bisa tampil nasionalis atau sebaliknya. Orang yang memiliki jiwa nasionalisme diragukan keagamaanya saya pikir itu narasi kita terjebak pada media sosial era masa lalu,” jelasnya.

Dia menambahkan jika kita yakin pada posisi benar yang sering jadi masalah adalah bagaimana kita  merendahkan orang lain, yang tidak satu identitas. “Pada aspek inilah kita mendirikan toleransi yang dibimbing oleh moralitas budaya ataupun etik sumber dari agama,” imbuhnya.

Sementara itu Holili menyatakan politik identitas hanya dikenal secara simbolik. “Kalau kita melihat dalam perspektif ilmu sosiologi maka tentu politik identitas dibagi menjadi dua bagian relasi dengan kategori,” ujarnya.

Menurut dia jika ingin melihat politik identitas secara substantif maka tentu di Indonesia itu politik identitas dibagi menjadi dua bagian. Yakni, ada agamis dan ada juga nasionalis.

“Sehingga ada partai yang mengusung sebagai partai nasionalis ada mengusung partai agamis atau religius. Hal yang bersifat karakteritik yang seperti ini maka tentu adik-adik bisa melihat di mana partai agamis itu sendiri dan di mana yang mengusung partai nasionalis itu sendiri,” imbuhnya. (oby/jal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *