Akademisi: Pengurusan Kode 22 Desa di TTU Jelang Pilkada adalah Pembohongan Publik

Pilkada ttu
Redem Kono, M.Fil.(wacananews.co.id/isto)

JAKARTA, WacanNews.co.id — Menindaklanjuti peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendari) telah menunda atau melakukan moratorium penerbitan kode dan data wilayah kecamatan, kelurahan, dan desa.

Penundaan itu tampak jelas melalui Surat Edaran Mendagri yang menginstruksikan untuk tidak melakukan penerbitan kode dan data wilayah desa, kelurahan dan desa hingga tanggal 31 Desember 2020. Karena itu, informasi yang mengatakan bahwa penerbitan kode desa untuk 22 desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) pada Desember 2020 atau sebelum Pilkada sangat menyesatkan, tidak benar dan karena itu adalah pembohongan publik.

“Berdasarkan peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019, Menteri Dalam Negeri sudah menerbitkan Surat Edaran Nomor 138/4257/SJ Tanggal 24 Juli 2020, yang isinya menerbitkan moratorium penerbitan kode dan data wilayah kecamatan, kelurahan, dan desa. Masa berlaku surat edaran tersebut adalah 31 Desember 2020, yang berarti penerbitan kode desa tidak dapat dilakukan sebelum Pilkada atau bisa dilakukan pada tahun 2021,” demikian penjelasan akademisi muda TTU, Redem Kono, M.Fil dari Jakarta, Kamis (12/11/2020).

Redem menjelaskan, alasan Kemendagri melakukan moratorium atau penundaan tersebut adalah semata karena demi konsistensi data wilayah yang menjadi dasar penetapan Tim Ad Hoc Pilkada Serentak Tahun 2020 dan dukungan administrasi lainnya di tingkat kecamatan, kelurahan, dan desa.

“Pertimbangannya, kalau menerbitkan kode desa, kelurahan, dan kecamatan maka akan berakibat pada penambahan data kewilayahan, sehingga mengubah daerah pemilihan dan agregat data kependudukan. Maka dalam rangka konsistensi data untuk mendukung kelancaran Pilkada, maka Kemendagri jernih memutuskan untuk tidak menerbitkan kode wilayah,” papar alumnus pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.

Lebih lanjut, Dosen di beberapa universitas di Jakarta itu mempertanyakan pengurusan kode desa untuk 22 desa di TTU menjelang pilkada pada 9 Desember 2020. Ia lebih melihat aspek politisnya dari pada kesungguhan pemerintah kabupaten TTU untuk mengurus kode desa yang tidak kunjung final sejak tahun 2013. Jika pemerintah daerah TTU sungguh memperhatikan masyarakat di 22 Desa tersebut, maka seharusnya pengurusan kode desa sudah usai tahun sebelumnya.

“Pertanyaannya, mengapa baru diurus sekarang menjelang Pilkada tanggal 9 Desember 2020? Ke mana aja selama ini? Wajar masyarakat curiga. Jika peduli pada ke-22 desa tersebut, seharusnya sudah diurus tahun-tahun lalu. Ini sudah bertahun-tahun tidak selesai. Lamanya pengurusan kode desa tersebut sangat berdampak bagi masyarakat 22 desa di Kabupaten TTU. Bantuan kepada masyarakat Desa tidak kunjung turun karena kendala administratif yang seharusnya dapat diselesaikan jika ada kesungguhan dan komitmen pemerintah,” tambahnya.

Redem mengaku mendengar kabar, yang juga diposting di media sosial bahwa Bupati TTU telah mengajak sejumlah kepala desa berangkat ke Kemendagri-Jakarta untuk mengurus kode desa tersebut. Padahal Bupati seharusnya sudah membaca Surat Edaran Mendagri tersebut. Karena itu, masyarakat TTU seharusnya sudah bisa menilai unsur kesengajaan dan politis dari ajakan tersebut.

“Masyarakat TTU sekarang sudah cerdas, tidak gampang dibohongi. Banyak kanal yang dapat diakses untuk mengetahui benar atau tidaknya sebuah kebijakan publik,” imbuhnya.

Akhirnya, putra kelahiran Miomaffo Barat tersebut mengajak masyarakat TTU untuk memanfaatkan momentum Pilkada TTU sebagai momen perubahan atau regenerasi kepemimpinan. Pilkada adalah pesta rakyat yang berdaulat, untuk menghentikan kepemimpinan yang tidak pro rakyat karena sibuk berpolitik dan mengejar kekuasaan.(isto/w2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *