Fraksi Golkar DPRD Ende Minta Pemerintah Merekonsiliasi Konflik Horizontal Pembangunan Dermaga Maurole

Fraksi golkar dprd ende
Pendapat akhir dalam sidang Paripurna anggaran 2021, Sabtu (28/11/2020).(wacananews.co.id/ms)

Ende, WacanaNews.co.id — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ende, Fraksi Golkar meminta pemerintah harus merekonsiliasi konflik horizontal akibat pembangunan dermaga di Nanganio, Desa Watukamba, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.

Hal ini disampaikan sebagai pendapat akhir dalam sidang Paripurna anggaran 2021, Sabtu (28/11/2020).

Ketua Fraksi Partai Golkar Megi Sigasare dihadapan bupati dan OPD serta masing-masing fraksi, dengan tegas mengatakan, sebelum dermaga diresmikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pepecahan ditubuh mosalaki pemerintah harus kembali menormalkan tatanan masyarakat adat dan menyampaikan luas lahan yang dibutuhkan dengan tegas dalam bentuk tertulis.

Ia menyampaikan, Sejak wacana awal pembangunan sudah menjadi masalah ditengah masyarakat antara lain:

1. Sejak tahun 80 an tata ruang kecamatan Maurole yaitu letak dermaga di Mausambi, kecamatan Maurole dimana sekarang menjadi tempat berlabu kapal muat batu bara PLTU Ropa karena secara teknis layak, daripada di Naganio airnya dangkal dan banyak batu karang sehingga kapal-kapal tidak bisa dan tidak pernah sandar.

2. Tahun 2010-2011 terjadi konflik akibat tidak dilakukan pendekatan persuasif oleh pemerintah, pendekatan hanya dilakukan kepada Mosalaki dan masyarakat yang setuju, tetapi tempat tinggal mereka jauh dari dermaga yaitu di gunung.

Sedangkan Mosalaki dan masyarakat sekitar lokasi pembangunan tidak dilakukan pendekatan yang baik dan tanpa sosialisasi tapi pengukuran tetap berjalan hingga masuk dirumah-rumah sampai diujung pemukiman masyarakat dipatok pilar, dengan sikap mau tidak mau harus mau dengan alasan dermaga penting, meski banyak perlawanan.

3. Transparansi tentang lokasi yang dibutuhkan saat ini tidak ada, apalagi tidak pernah menunjukan bukti tertulis luas lahan yang dibutuhkan oleh perintah kabupaten Ende, sedangkan dari Pemerintah Propinsi meminta pemerintah Ende menyiap lahan dengan luas kurang lebih 2 ha guna pembangunan dermaga.

Sehingga mosalaki yang berwenang yang bermukim ditempat yang telah diukur, menolak sepenuhnya untuk tidak dilakukan pembangunan dermaga di Nanganio.

4. Konflik tetap berjalan dan posisi pemerintah kala itu berada pada pihak setuju pembangunan, maka terjadilah pemecatan terhadap mosalaki Pu’u yang tidak setuju Yohanes Laka Keli dan Mosalaki Ria Bewa Yohanes Beke Laka dan diganti dengan orang lain.

5. Perseteruan semakin tinggi akibat pemecatan ke 2 mosalaki tersebut hingga saat ini. Untuk itu budaya dan tradisi adat yang ada di Naganio-Maurole terjadi pergesaran nilai yang menghilangkan tradisi itu sendiri.

Adat berlaku bahwa kekuasaan mosalaki berakhir kalau meninggal dunia (mata sa pi welu sa pi) bukan langsung ganti dan pecat untuk pembangunan.

“Untuk itu pemerintah harus bertanggungjawab atas konflik dan rusaknya tatanan adat, nilai dan eksistensi tidak seperti yang dialami sekarang ini,” ungkapnya.

Oleh karenanya kami menawarkan, sebelum dermaga resmi maka yang harus dilakukan pemerintah adalah rekonsiliasi, agar semua tradisi, struktut mosalaki dapat dikembalikan diposisi semula.

Dan pemerintah lah yang bertanggungjawab dan pemerintah harus bertanggungjawab dan memfasilitasi demi normalnya adat disana,” tegas Megi.(ms/w2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *