MALUKU, WacanaNews.co.id — Terkait dengan pemberitaan di media bahwasanya Kementerian ESDM Akan Evaluasi Izin Tambang Emas di Sangihe (Minggu, 13 juni 2021), maka sejumlah aktivis Peduli lingkungan hidup di Provinsi Maluku pun mulai gencar-gencarnya menyuarakan dan menyampaikan permohonan kepada Kementerian ESDM serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengarahkan sedikit perhatian Negara ke wilayah Indonesia Timur yang notabene merupakan wilayah yang berada di perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disela-sela kesibukannya, Ketua DPC GMNI Kepulauan Tanimbar, Jois Krestofol Esauw, yang merupakan Putera asli Maluku Barat Daya melalui komunikasi via telephone selulernya mengatakan keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan dan masyarakat adat yang mendiami pulau Romang akibat dampak dari aktifitas Pertambangan Emas oleh PT. GBU (Gemala Borneo Utama).
“Yang terjadi disana sangatlah memprihatinkan, kehidupan para Nelayan menjadi terusik dengan aktifitas tambang, banyak sekali kerusakan biota laut. Dari sisi jumlah pendapatan nelayan kecil semakin terpuruk. Bukan saja para nelayan, para petani juga merasakan dampak yang sangat besar. Produksi tanaman perkebunan seperti Kelapa, Jeruk, Cengkeh semakin menurun dari sisi kuantitas maupun kualitas produksinya. Selain itu Pulau Romang juga terkenal dengan penghasil Madu, namun kini semuanya tinggal ceritera, karena hasil madu semakin menurun dan dipastikan akan lenyap, yang ada hanyalah bauh busuk yang terciun akibat pencemaran lingkungan hidup oleh limbah tambang. “Limbah Tambang Emas yang tidak dikelola secara baik berdampak sangat buruk bagi keberlangsungan hidup Manusia dan alam sekitarnya”, tandas Aktivis Peduli Lingkungan Maluku.
Selain itu, Kehadiran PT. GBU memicuh konflik horizontal antara masyarakat yang Pro dan Kontra terhadap Pertambangan, hal ini sangat mengganggu tatanan adat masyarakat setempat. Dalam tatanan adat masyarakat pulau Romang tentulah memiliki mekanisme pembagian hak kepemilikan adat dan hak pengelolaan.
Semenjak kehadiran PT GBU, Masyarakat adat diporak poranda bahkan diadu bersengketa atas batas tanah dan hak kepemilikan tanah adat. Ini sangat mengganggu kamtibmas serta melanggar Hak Asasi Manusia, dan lagi-lagi penyebabnya adalah PT. GBU yang secara sepihak mengeksploitasi hasil Bumi di Pulau Romang untuk kepentingan pribadi dan koleganya.
Ditempat terpisah, Koordinator Koalisi Aktivis Peduli Lingkungan Hihdup Pulau Romang, Paulus Kameubun mendesak agar Izin Opersi PT GBU di Pulau Romang segera di Tinjau kembali.
Dirinya mengatakan bahwa Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM harus meninjau kembali izin operasional PT. GBU di Pulau Romang, kalau perlu di cabut saja. Negara sudah saatnya memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat.
“Kasihan masyarakan adat disana kalau dibiarkan berkonflik atas hak kepemilikan dan hak pengelolaan tanah serta setiap saat menghirup udara tidak sehat akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. GBU” tuturnya.
Pulau Romang yang Kecil lama – kelamaan akan tenggelam jika di eksploitasi terus-menerus,” ungkapnya.
Pengeboran yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan maka akibatnya akan fatal. Fakta hari ini bahwa kalau saja PT. GBU dibiarkan leluasa melakukan Penambangan Emas di Pulau Romang maka kita semua secara sadar mengesahkan pemusnahan satu kesatuan masyarakat adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural.
“Kita tanpa sadar memaksa masyarakat di pulau Romang untuk harus meninggalkan tanah leluhurnya dan keluar dari pulaunya untuk memberikan ruang seluas-luasnya kepada PT. GBU dalam berekplorasi dan ekploitasi potensi alam disana. Inilah yang saya sebut Kita Mengesahkkan Pemusnahan satu kesatuan masyarakat adat dalam NKRI,” tandas Paul.(pas/w2)